Apakah Resesi Global Sudah dekat?
Terdapat penurunan yang signifikan pada konsensus perkiraan pertumbuhan global tahun 2022 dan 2023. Menurut Bank Dunia, invasi Ukraina oleh Rusia bersama dengan gangguan pasokan yang terus menerus yang sebagian disebabkan oleh pandemi, dan berbagai pengetatan kebijakan ekonomi makro untuk mengurangi inflasi dan membalikkan langkah-langkah yang meresap yang diambil selama ini, adalah beberapa faktor paling signifikan yang berkontribusi terhadap fenomena ini.
Sebelumnya pada bulan Januari 2022, perkiraan konsensus untuk pertumbuhan global adalah 4,1% untuk tahun 2022 dan 3,3% untuk tahun 2023, tetapi pada bulan Agustus, perkiraan ini telah diturunkan menjadi hanya 2,8% untuk tahun 2022 (perubahan -31,7%) dan 2,3% untuk tahun 2023 (perubahan -30,3%).
Penurunan ini sebagian besar diderita oleh negara-negara maju dengan perubahan sebesar -39,5% dan -52% untuk tahun 2022 dan 2023. EMDE diperkirakan relatif lebih kuat, diturunkan hanya sebesar -23,9% dan -8,9% untuk tahun-tahun tersebut.
Jika kita melihat pertumbuhan triwulanan PDB negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia (yaitu AS, Uni Eropa, dan Tiongkok), kita memang dapat melihat adanya perlambatan yang cukup serius.
Meskipun baru-baru ini terjadi pemulihan dari dampak ekonomi akibat pandemi COVID-19, PDB AS mengalami pertumbuhan negatif sebesar 1,6% dan 0,6% pada Triwulan-I dan Triwulan-II 2022 yang memicu sinyal kuat resesi ekonomi di negara tersebut.
China menghadapi masalah serupa, lockdown yang tak terhitung jumlahnya akibat Kebijakan Zero COVID yang diterapkan oleh pemerintah dan pecahnya gelembung sektor properti, merupakan dua faktor paling signifikan yang berkontribusi terhadap kontraksi ekonomi di Triwulan-II 2022.
Uni Eropa saat ini sedang mengalami stagnasi, tetapi karena krisis energi masih belum ada ujungnya dan mempengaruhi pusat-pusat kekuatan ekonomi Uni Eropa, serta ancaman krisis pangan yang akan datang, tidak ada jaminan bahwa Uni Eropa tidak akan jatuh ke dalam resesi ekonomi juga.
Energi Krisis di EU
Invasi Ukraina oleh Rusia telah memicu serangkaian peristiwa yang menyebabkan krisis energi di Eropa karena sebagian besar Uni Eropa masih bergantung pada pasokan gas dan minyak dari Rusia. Akibatnya, mulai Februari 2022, harga komoditas energi di Uni Eropa meroket, terutama Bahan Bakar Cair dan Gas Alam.
Saat ini, Uni Eropa telah berhasil mengisi penyimpanan gasnya hingga 90% menjelang musim dingin, menurut laporan triwulanan Badan Energi Internasional. Namun, perubahan perilaku dan pengurangan mungkin diperlukan jika Rusia mengurangi ekspor gas lebih lanjut, yang dapat mengurangi output ekonomi terutama di sektor manufaktur, yang selanjutnya menambah tekanan ke bawah pada pertumbuhan PDB.
Menurut Bank Dunia, Inflasi IHK terus meningkat sejak Februari 2021 ke level tertinggi selama beberapa dekade dan tidak menunjukkan tanda-tanda perlambatan di berbagai negara di negara maju maupun di negara berkembang. Kenaikan harga energi hanya membuat inflasi lebih persisten dan lebih sulit untuk ditahan.
Kebijakan Moneter Merespons Inflasi
Sebagai hasil dari pertumbuhan inflasi yang terus-menerus, bank sentral di banyak negara telah menaikkan suku bunga kebijakan mereka secara tajam. Bank Dunia menyebutnya sebagai episode pengetatan kebijakan moneter yang paling sinkron secara internasional dalam lima dekade terakhir.
Suku bunga efektif Federal Funds Rate di Amerika Serikat meningkat lebih cepat daripada waktu-waktu lain dalam sejarah, mencapai 2,6% hanya dalam waktu 6 bulan. Bank Sentral Eropa menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya dalam 11 tahun terakhir dan diperkirakan akan terus naik hingga mencapai 2%. Bank Sentral Inggris mencapai suku bunga tertinggi sejak 2008 pada Agustus 2022 sebesar 1,8%.
Tindakan kebijakan ini diperlukan untuk menahan tekanan inflasi, tetapi efeknya yang saling bertumpuk dapat menghasilkan dampak yang lebih besar dari yang diharapkan, baik dalam pengetatan kondisi keuangan maupun dalam memperparah perlambatan pertumbuhan.
Sources: World bank, BPS, tradingeconomics.com, antaranews
Bagaimana dengan Indonesia?
Meningkatnya inflasi juga menjadi masalah, tingkat inflasi tahunan Indonesia melaju menjadi 4,9% pada Juli 2022 dan terus meningkat menjadi 5,95% pada September 2022, level tertinggi sejak Oktober 2015. Tingkat inflasi berada di atas batas atas kisaran target 2-4% bank sentral selama empat bulan berturut-turut. Tekanan kenaikan utama sebagian besar berasal dari biaya makanan (7,91% vs 7,73% di bulan Agustus), transportasi (16,01% vs 6,62%), perumahan (3,19% vs 3,11%), perabot (5,04% vs 4,89%), makanan dan restoran (4,53% vs 4,20%), pendidikan (2,61% vs 2,50%), dan pakaian (1,56% vs 1,63%). Sebaliknya, biaya informasi & keuangan turun lebih jauh (-0,31% vs -0,29%).
Namun, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, Indonesia memiliki tingkat kenaikan yang jauh lebih lambat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa "inflasi Indonesia, pada tingkat 5,9 persen yang terjaga dengan baik, membuat negara ini termasuk di antara lima negara dengan tingkat inflasi terendah di dunia". Swasembada produksi bahan makanan pokok membuat volatile food relatif terkendali, menjaga inflasi tetap stabil, meskipun ada pengurangan subsidi pemerintah untuk harga bahan bakar minyak (BBM).
Tanggapan Bank Indonesia terhadap Inflasi
Meskipun inflasi relatif moderat, BI telah mulai menaikkan suku bunga kebijakannya pada Agustus 2022 menjadi 3,75% dan September 2022 menjadi 4,25% (sebelumnya 3,5% dari Februari 2022). Kenaikan ini sangat moderat dengan tingkat pertumbuhan gabungan sebesar 7,8% yang menjadikan BI sebagai salah satu bank sentral yang paling tidak hawkish di dunia. Sebagai perbandingan, The Fed dan Bank Sentral Inggris masing-masing memiliki tingkat pertumbuhan suku bunga gabungan sebesar 589,9% dan 654,4% untuk periode yang sama.
Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Indonesia diperkirakan akan menjadi negara dengan perekonomian yang lebih kuat dibandingkan dengan konsensus pertumbuhan EMDEs. Untuk tahun 2022, proyeksi pertumbuhan PDB Indonesia sebenarnya telah ditingkatkan menjadi 5,4% dibandingkan dengan 5,0% pada proyeksi sebelumnya. Sebaliknya, proyeksi pertumbuhan EMDEs diturunkan menjadi 3,5% dari 4,6%.
Untuk tahun 2023, pertumbuhan PDB Indonesia diturunkan menjadi 5,0% dari 5,2% pada proyeksi sebelumnya (penurunan sebesar 3,8%). Namun, penurunan ini secara signifikan lebih moderat. Sebagai perbandingan, proyeksi konsensus untuk EMDEs diturunkan menjadi 4,1% dari 4,5% (penurunan 8,9%).Â
Ketangguhan Ekonomi Indonesia dalam Perspektif Resesi Global
Bank Dunia membuat model yang menunjukkan kisaran dan pergerakan pertumbuhan PDB global pada resesi global di masa lalu (yaitu, 1975, 1982, 1991, 2009, dan 2020), berdasarkan data triwulanan. Model ini menunjukkan bahwa laju penurunan proyeksi pertumbuhan global selama satu tahun terakhir (perkiraan konsensus dari 45 negara) jauh lebih cepat dibandingkan dengan periode sebelum resesi global sebelumnya.
Jika kita menempatkan pertumbuhan PDB Indonesia di masa lalu dan proyeksi pertumbuhan PDB dalam perspektif ini, kita dapat melihat bahwa perekonomian Indonesia saat ini, dan diperkirakan akan stabil hingga Triwulan-IV 2022, terlepas dari tekanan penurunan yang biasanya terjadi sebelum resesi global.